“Kau melamun ya?” tanya Adre saat melihatku terduduk sendiri di
bangkuku.
“Tidak, aku hanya sedang melihat ke luar jendela. Cuaca tidak
mendukung hari ini, tapi mereka masih saja bersenang-senang,” ucapku mengarah
kepada mereka yang berada di lapangan sekolah.
“Heh, mereka itu memanfaatkan waktu yang ada, tidak seperti kau
yang hanya tetap duduk diam di bangkumu saat jam istirahat. Pantatmu tidak
panas apa?”
“Dasar kau ini,” “Kalau begitu, temani aku jalan-jalan keluar
kelas!”
“Nah, begitu dong. Ayo!”
Aku pun beranjak dari
bangku yang sebelumnya sudah lama aku duduki. Aku lihat Adre sangat
bersemangat.
Kaki ku mulai melangkah
keluar pintu kelas. Tanpa tujuan yang tampak jelas, aku terus berjalan, dengan
Adre di samping kiriku. Kami tidak banyak bicara saat itu.
Seseorang dengan seragam
sekolah sepertiku, hanya saja dia memakai celana panjang dan aku memakai rok
hitam pendek berwiru di atas lutut. Tatapannya yang dingin nan lurus melewatiku
begitu saja dari arah yang berlawanan. Kedua tangannya mengayun, kakinya
melangkah tegas, kanan dan kiri.
“Dia sombong ya!” Adre mengatakannya saat seseorang itu sudah
berada sedikit jauh di belakang kami.
“Baka, jangan mengatakannya keras-keras!”
“Tapi, itu betul kan?”
“Siapa juga yang peduli.”
.
.
.
Teet__teeet__teeeet
.
.
.
Bel berbunyi, aku pun meletakkan
botol air mineral yang aku beli dari kantin sekolah di atas meja kantin. Aku
dan Adre pun segera kembali ke kelas untuk kembali menerima pelajaran.
Aku kembali duduk di
bangku kesayanganku. Tepat di belakangku, duduklah seorang yang baru saja aku
kenal 3 hari yang lalu. Dia seorang murid pindahan dari Amerika, lebih tepatnya
ia baru saja pulang dari Amerika. Dialah orang yang Adre bilang sombong tadi.
Panggil saja dia Sei.
Pembimbing masuk dan
memberikan pelajaran seperti biasa, sampai akhirnya bel pulang berbunyi dan
pelajaran terpaksa harus dilanjutkan di pertemuan berikutnya.
“Nicha, ayo pulang!” ajak Adre kepadaku.
“Tunggu, aku rasa, aku kehilangan bolpoinku.”
Aku pun mencarinya di sekitar bangku yang aku duduki tadi.
“Ini.” Ucap Sei sambil meletakkan sebuah bolpoin di mejaku
ketika aku dan Adre masih sibuk mencari.
“Eh, terima kasih.” Tetapi dia pergi sebelum aku mengucapkannya.
“Huh, sombongya,” Adre kesal
“Sudahlah, yang penting bolpoinku ketemu. Sekarang ayo kita
pulang.”
.
.
.
“Jaaa… Nicha sampai jumpa lagi yaaa,” teriak Adre masih sambil
menggoes sepedanya meninggalkanku. Sedangkan aku berbelok ke arah kiri untuk masuk
ke perumahan sederhana, di mana rumahku terletak di dalamnya.
Sesampainya di depan
rumah, aku segera membuka gerbang rumahku dan memasukkan sepedaku ke garasi,
serta mengunci gerbang rumahku kembali. Ya, aku sendirian di rumahku lagi. Ayah
dan ibuku sedang ada bisnis di luar kota selama 1 minggu. Dan mereka baru saja
berangkat tiga hari yang lalu. Masih ada waktu 4 hari untukku menikmati
kesendirian ini.
Meooww…meooww…
“Noky, kau tahu kalau aku sudah pulang ya?” kataku kepada
kucingku yang mungkin baru saja bangun dari tidur siangnya karena tahu aku sudah
pulang.
Seperti biasa aku
langsung menuju ke kamarku dan segera mengganti seragam sekolahku. Tumpukan
buku sudah aku siapkan di meja kecil belajarku dari semalam. Aku akan
membacanya hari ini. Tumpukan itu bukan buku pelajaran, melainkan buku bacaan
dengan isi yang aku sukai. Membaca yang seperti itu tidaklah membosankan
bagiku, meskipun terkadang sampai larut malam.
.
.
.
Driiingg__driiingg__driiingg__
Ada pesan masuk di
ponselku.
From : Adre
To : Nicha
“Kau datang ke pestanya Axel
kan pukul 20.00 nanti?”
From : Nicha
To : Adre
“Mungkin, tapi jangan
menungguku.”
Dan tidak ada balasan lagi dari Adre. Memangnya aku
harus pergi ya? Tetapi bagaimana dengan buku-buku ku ini, aku tidak terlalu
tega untuk meninggalkan mereka sendirian.
Tetapi, ya sudahlah, paling tidak aku punya waktu selama 8 jam lagi
untuk membaca buku-buku ini, sebelum aku pergi ke pesta nanti.
Sepertinya Noky lapar, aku akan memberinya makan
siang terlebih dahulu. Lalu, aku akan membaca buku-buku favouriteku lagi. Dan
mungkin nanti aku bisa tidur sebentar untuk istirahat.
***
Jam di dinding kamarku telah menunjukkan pukul
19.25, aku rasa sudah waktunya aku bersiap untuk datang ke pestanya Axel.
“Hai,” sapa Reo di depan gerbang rumahku. Pasti dia sedang bersama
Adre di mobilnya. Dasar Adre, sudah ku bilang jangan menunggu, masih saja
melakukan itu. Apalagi, bersama pacarnya, Reo.
Pasti mereka berangkat
bersama kali ini. Duh,jadi merasa seperti obat nyamuk.
“Nah, Nicha, kau cantik hari ini,” kata Adre dari bangku depan
di samping Reo.
“Apaan sih, sudah cepat jalan, keburu terlambat nanti.”
.
.
.
Kami bertiga pun sampai
di rumah megah milik si Axel. Ku lihat tamu-tamu yang datang menggunakan
pakaian yang gemerlap dan indah di malam ini.
“Ku kira kau tidak akan datang dan lebih memilih berdiam diri di
kasur sambil membaca light-nove romancemu itu,” sambutan yang begitu menyindir
dari Axel kepadaku. Dan aku pun hanya tersenyum dan berjabat tangan dengannya.
.
.
.
“Ok. Sekarang pesta akan dimulai. Ini adalah pesta penyambutanku
kembali ke negeri ini setelah satu bulan di London. Oleh karena itu, aku ingin
ada pesta dansa di sini. Dan Adre akan membagikan kartu acak kepada teman-teman
perempuan sekalian. Reo juga akan membagikannya ke bagian teman-teman laki-laki.
Jadi, yang mendapatkan nomor kartu sama, maka mereka akan jadi pasangan dansa
yang akan berdansa bersama dengan lantunan musikku malam ini,” kata Axel
memulai acaranya.
Pasangan? Yakali aku
berdansa dengan seorang cowok nantinya. Pesta ini gila, aku akan segera pulang.
“Hei, Nicha, kau mau kemana? Cepat ambil satu kartu!” Adre
mencegahku.
“Dre, kamu tahu kan, aku tidak suka berinteraksi dengan orang
lain. Apalagi di sini tidak semua orang aku kenal. Bagaimana jika aku
mendapatkan pasangan yang tidak aku kenal? Ha?”
“Justru itu, ini waktumu untuk memulai belajar berinteraksi,”
“Ini aku ambilkan kartu untukmu,” sambil menyodorkan kartu kepadaku.
Hanya semakin merasa
jika waktuku terbuang sia-sia di pesta ini. Ya, meskipun pada akhirnya aku
mengikuti permintaan dari Adre.
Brukk__
”Eh..” kartu yang belum sempat aku balik pun jatuh karena ada
seseorang yang menabrakku dari arah belakangku. Dan aku lihat kartu miliknya
juga jatuh. Sehingga kami harus mengambilnya.
“Sebelas?”
“Sebelas?” tanyanya.
“Mungkin kartu kita tertukar.”
“Aku juga nomor sebelas.”
“Eh, jadi… “
.
.
.
“Guys, kalian sudah menemukan pasangan kalian masing-masing kan?
Baiklah selamat menikmati lagu yang satu ini. Berdansalah dengan tenang.” Axel
pun menyalakan lagunya.
***
Ternyata dia juga ada
di sini. Si Sei yang pernah study di Amerika itu. Dan sekarang dia ada di
depanku. Matanya sedang dingin menatapku. Sampai aku merasa tak sanggup untuk
balik menatapnya. Dialah pasangan dansaku malam ini.
Aku sangat kaku di
depannya. Tetapi, tak ku sangka, dia yang pendiam dan dingin seperti itu
memperlakukan tubuhku dengan lembut saat dansa. Dia terlihat sudah
berpengalaman dalam dansa. Seketika itu aku merasa berdansa dengan seorang
pangeran kerajaan. Semakin aku perhatikan, wajahnya pun semakin tampan. Dan
kini, wajah itu semakin mendekat ke wajahku.Dan…
“Permisi, kalian pasangan nomor berapa?” Seseorang bertanya
kepada kami berdua yang seakan tak peduli dengan sekitar karena asik berdansa.
“Sebelas,” jawabku singkat, karena Sei masih melangkahkan
kakinya ke kiri maupun kanan dengan tanganku berada di pundaknya dan kedua
tangannya di pinggangku.
Seseorang yang bertanya itupun pergi.
“Oh, maaf. Aku ingin ke toilet sebentar,” kataku sambil
melepaskan peganganku dan mundur 1 langkah menjauhi Sei.
Tanpa izin darinya aku langsung balik badan dan meninggalkannya
menuju ke toilet.
.
.
.
“Bodoh, kenapa aku secanggung itu. Aku tak seharusnya seperti
ini. Dan dia, kenapa harus dia sih yang jadi pasanganku. Jantungku mulai
berisik tadi, untung saja kini sudah mulai tenang,” bicaraku dengan aku yang
ada di cermin toilet sebelum akhirnya aku menundukkan kepalaku.
.
.
.
“Baiklah, kita sudah sampai di puncak acara, aku akan memanggil
pasangan yang paling romantis malam ini,” ucap Axel, “Dan mereka, adalah
pasangan nomor sebelas. Beri tepuk tangan untuk mereka…”
Sebelas? T-t-tapi, itu
kan nomor pasanganku dengan Sei. Apaan ini?
Grep__
Sei menggandeng tanganku dan menarikku berjalan ke atas
panggung.Hal itu sempat membulatkan mataku. Axel pun memahkotai kami berdua dan
memberiku sebuket bunga sebagai tanda bahwa kami pemenang malam ini. Tepuk
tangan pun bersahut-sahutan. Ada juga yang berbisik iri saat melihatku berada
di samping Sei.
“Coba aja kalo bukan sama Sei, pasti kalah.”
“Sei-kuunn, kenapa kamu tidak denganku saja.” Dan blablala…
Sei pun berjalan
menuruni panggung tanpa menggandengku lagi. Itu tak begitu masalah untukku. Karena
dia terlihat buru-buru dan jam pun sudah menunjukkan pukul 22.10, aku harus
cepat pulang.
“Eh, Xel, aku harus pulang, sudah jam segini. Si Noky juga belum
makan >.<” pamitku kepada Axel.
“Oh ya. Terima kasih sudah datang, dan selamat ya,kau cocok
sekali dengan Sei tadi. Hehehe :D”
“Apaan sih.”
Masih dengan mahkota
dan sebuket bunga merah yang Axel hadiahkan kepadaku, aku langsung pergi
meninggalkan pesta yang masih ramai itu. Karena aku tidak membawa sepeda atau
transportasi apapun, jadi aku harus melangkahkan kaki ini ke rumahku yang cukup
jauh dari posisiku saat itu.
Cukup jauh aku berjalan
dari rumah Axel, dengan gaun coklat selutut yang aku pakai, angin menghebus
lembut kulit pucatku, dingin menembus sel-sel tulangku.
Sreeeett__(suara mobil
direm)
Mobil putih berhenti di samping kiri trotoar yang
aku pijak, itu otomatis juga membuatku berhenti dan menengok ke arah kaca mobil
itu.
“Masuklah, atau akan aku paksa!” itu terdengar seperti perintah
bukan ajakan ataupun lain-lain.
“Apa maksudmu? Aku tidak mau.”
“Dasar.” Kemudian dia keluar dari mobilnya dan menghampiriku
serta memaksaku untuk masuk ke mobilnya.
“Sei, lepas.” tetapi dia tetap menarikku masuk ke mobilnya dan
akhirnya dia berhasil membuatku duduk di kursi depan bagian kiri, di mana tepat
di samping kiri dia menyetir.
“Memangnya kau akan membawaku ke mana?”
Karena lama tidak ada jawaban, aku langsung saja meletakkan
rangkaian bunga serta mahkotaku di samping kanan jok mobilnya yang sedang aku
duduki.
“Perempatan ini belok ke mana?” tanyanya tiba-tiba saat mulai
mendekati perempatan dari jalur rumah Axel dekat rumahku.
“Kanan.”
Dia pun berbelok ke kanan dan berjalan lurus menuju ke rumahku.
“Sto..” belum selesai aku mengucapkannya, Sei sudah
memberhentikan mobilnya terlebih dahulu.
“Dari mana kamu tahu kalau ini rumahku?”
“Terlihat dari ekspresimu yang ingin berkata *berhenti*,”
jawabnya.
Apa? Mengapa bisa seperti
itu? Apakah dia bisa membaca pikiran? Aku
bergumam sebentar.
“Baiklah, terima kasih,” dan aku membuka pintu mobil, kemudian
aku keluar darinya.
Aku tidak melihat dia
mengangguk, hanya saja aku melihat tatapan dinginnya yang masih lurus untuk
menyetir mobilnya lagi. Tanpa pikir panjang, dia pun langsung meninggalkanku di
depan pintu gerbang yang bernomorkan 32.
Aku membuka gerbang rumahku
dan langsung masuk menuju ke kamarku. Aku terburu-buru sehingga aku tidak
benar-benar mengunci gerbang rumahku. Aku melihat Noky masih tertidur pulas di
karpet kamarku. Kasihan, malam ini dia
belum makan. Mengingat itu, aku segera melepas gaunku dan menggantikannya
dengan baju tidurku, karena aku harus segera tidur. Sudah pukul 22.30 sekarang.
“Noky-noky… bangun dan makanlah, maaf ya membuatmu menunggu.”
Indra penciuman Noky yang kuatpun membuat Noky segera tersadar
dan bangun untuk memakan makanan kucing yang sudah aku siapkan.
Ting__tong__(suara bel
rumahku berbunyi)
“Eh, ada yang datang, siapa ya?”
Aku segera mendatangi pintu dan Noky mengikutiku dari belakang.
Aku pun membuka pintunya.
Berdiri seorang berjas putih sedang memegangi sebuket bunga
merah. Aku kenal orang ini, dialah Sei.
“Oh ya, bungaku ketinggalan di jokmu tadi, terima kasih,” tetapi
dia tidak segera memberikan bunga yang sudah jelas-jelas milikku.
“Dasar ceroboh!”
“Ya maaf, aku tahu.”
“Jika kau tahu, kau tidak akan melakukan itu, bodoh.”
“Apa maksud dari perkataanmu? Baiklah ambil saja bunga itu,” aku
yang sudah berbalik badan untuk menutup pintu, langkahku terhambat oleh sahutan
tangannya yang menahanku. Sontak aku kaget dan berbalik badan kembali
kepadanya.
“Apa lagi?”
“Meoowww…” oh tidak Noky untuk apa kau di sini sih.
“Kucing pemarah.” Dia menyeringai seakan dia bangga akan
kata-kata yang telah dia ucapkan padaku, memangnya apa maksud dari perkatannya
itu. Dia melanjutkannya, “Ini, lain kali jangan ulangi,” sambil memasangkan
mahkota ke atas kepalaku dan menyodorkan sebuket bunga itu. Aku kaget dan aku
pun menerimanya.
Setelah itu, dia
berbalik badan, dan pergi menuju ke mobilnya. Mataku masih saja mengamati
tubuhnya yang tinggi tegak nan semampai bak model professional itu. Langkah
kakinya, yang berwibawa seakan dia adalah seorang keturunan darah biru. Jas
putih yang dia kenakan malam ini sangatlah cocok dengan perawakannya, sehingga
dia terlihat sangat tampan, meskipun hanya punggungnya yang kini terlihat.
Dia pergi mengendarai
mobilnya lagi dan setelah dia pergi, aku menutup pintu gerbang yang sempat dia
buka dan aku masuk ke rumahku kembali.
Di kamarku, ku letakkan
serangkai bunga itu di atas meja belajarku.
“Dasar,Sei. Memangnya dia itu siapa bisa berbicara seperti itu
padaku? Dan apa yang dimaksud *Kucing Pemarah* ?
***
Keesokan harinya, di
sekolah, seperti biasa aku berangkat dengan sepeda dan memarkirnya di tempat
parkir sekolah.
Tanpa pikir panjang aku
langsung menuju ke kelas, memangnya mau kemana lagi.
Surainya melambai
dengan nyaman di sekitar matanya, tatapannya mengarah keluar jendela.
Oucch, aku kalah cepat hari
ini.
Biasanya aku yang datang terlebih dahulu. Namun, Sei
mendahuluiku lagi setelah kemarin.
Ku letakkan tas
sekolahku di bangku yang ada di depan bangkunya. Aku duduk dan mengeluarkan
light-nove ku. Mulai ku baca lembar demi lembar, sampai-sampai aku tak ingat
bahwa aku sedang berada di kelas yang masih sepi ini. Aku terlalu khidmat
membaca light-nove ku itu.
“Ehh… pasangan dansa sudah datang ternyata,” ucapan Adre yang
baru datang itu mengacaukan konsentrasiku. “Kenapa diam-diaman sih? Aku
menganggu ya,maaf deh.”
Di antara kami berdua, tidak ada yang menjawab ocehan ataupun
pertanyaan Adre.
.
.
.
Saat istirahat, kelas
pun sudah terbiasa untuk sepi. Semua teman keluar kelas dengan tujuan
masing-masing. Adre yang kadang mengajakku keluar sedang ada pertemuan dengan
pacarnya, Reo. Dan lagi-lagi aku sendirian di kelas hanya memandangi light-nove
serta mencoba membacanya.
“Kau tidak ingin keluar?” tanya seseorang membuat kepalaku
mendongak ke arahnya dan sedikit kaget karena kukira aku sendirian.
“Tidak, kau sendiri sama saja,” jawabku kepadanya.
“Kata siapa? Aku ingin mengajakmu keluar.”
Kata-kata itu sontak membulatkan mataku.
Tanpa aku mengiyakan, dia sudah berlalu sambil
berkata, “Ke Lab Biologi sekarang!” sekali lagi itu bukan merupakan ajakan yang
baik dari seorang Sei, melainkan sebuah perintah, dan entah mengapa aku tidak
menolaknya.
***
Di lab biologi, aku
tertegun, di sana banyak barang tidak berada di tempatnya.
“Bantu bersihkan!”
“Watde!!Apa maksudmu, kau menyuruhku membersihkan lab ini? Aku
tidak mau.” Aku membalikkan badanku dan siap untuk melangkah pergi dari lab
itu.
Grep__
“Kau benar-benar tidak mau? Padahal aku ingin kau berada di
sini,” ucapnya sangat dekat di teligaku.
Bagaimana tidak. Saat aku akan pergi dari lab itu, belum satu
langkah dia menahanku dengan menarik tanganku sampai posisiku seperti sekarang
ini. Aku canggung dalam hal ini, wajahnya tepat berada di samping telinga kananku.
Ucapannya itu seakan seperti bisikan yang membuatku sedikit gemetaran.
“Iya, ya. Baiklah.” Bodoh!!
Kenapa aku menerimanya.
Apakah hanya dengan bisikan
itu, aku luluh dan tunduk dengan perintahnya. Memangnya siapa dia. Raja? Bukan
kan?
Pertanyaan yang tak perlu dijawab.
“Buku-buku ini harus aku taruh mana?” tanyaku kepadanya sambil menggendong
buku-buku tebal.
Dia pun membalikkan badannya dan menatapku dingin, wajahnya
datar memang, tetapi tatapan mata indah itu serasa tajam dan menusukku
seketika. Karena lama tidak menjawab. Aku pun mengulangi pertanyaanku.
“Anoo… buku ini…” belum selesai mengulang pertanyaanku.
Sekarang dia sudah berada di dekatku. Aku pun melangkah ke
belakang untuk menjauhkan tubuhku darinya.
Dukk__
Tubuhku sudah menyentuh
meja di dekat jendela lab.
Apa yang ingin dia lakukan? Aku bingung sampai-sampai aku menundukkan kepalaku.
Dia meletakkan kedua tangannya ke meja di samping kanan dan kiri
tubuhku. Dia mendekatkan wajahnya ke kepalaku yang menunduk. Aku merasakan
dagunya menopang di kepalaku.
“Kau ini bodoh ya. Dasar!! Kau mengingatkanku kepada seseorang.
Tapi, tak sebodoh dirimu.” Apa maksud dari perkataannya itu. Dia mengejekku.
“Sudahlah. Aku tidak peduli,” aku pun bangkit dan segera pergi
dari penjara tangannya saat itu.
.
.
.
“Sudah bersih kan? Aku akan kembali ke kelas.”
Aku mengambil light-nove ku yang dulunya aku letakkan di atas
meja kecil di lab biologi tersebut.
Sreett…
Dia mengambilnya sebelum tanganku menyentuh light-nove ku.
“Berhentilah membaca yang seperti ini. Ini membuatmu bodoh.”
“Kembalikan. Eh…”
Tangannya berada di pipiku sekarang.
“Apaan sih,” sentakku geram.
“Debu.”
“Eh, debu? Terima kasih. Tapi, kau tak perlu melakukannya.
Memberitahukannya kepadaku saja sudah cukup.” Ternyata dia mengusap debu yang
menempel di pipiku.
“Banyak omong,” dan dia pergi melewatiku begitu saja, dan
menjatuhkan light-noveku. Aku pun geragapan menangkap light-nove ku, dan diam
setelah mendapatkannya.
.
.
.
Tap_tap_tap…
Langkahku menuruni anak tangga untuk menuju ke kelas setelah
lelah membersihkan lab biologi.
Baru sampai di anak yang ke lima, kurasa sepatuku menjadi licin
dan aku terpeleset.
Oh, aku tidak sampai terpeleset
karena seseorang menahanku dari belakang. Sontak aku kaget dan melihat siapa
itu.
“Sei?” kagetku sampai-sampai mengucapkan namanya.
“Ceroboh.” Lalu, dia pun berjalan mendahuluiku setelah
menyelamatkan ku dari jatuh.
Tapi, bagaimana bisa dia ada di belakangku? Bukankah dia sudah pergi
lebih dahulu dari lab daripada aku? Dari mana saja dia? Huufftt… untuk apa juga
aku pikirkan.
Dia melepaskan pegangannya dan berjalan mendahuluiku lagi.
***
Keesokan harinya di kelas.
“Eh, besok kan weekend, kita jalan-jalan sekelas yuk,” ajak
seorang teman sekelasku.
“Memangnya mau kemana?”
“Di pantai samping kota saja. Kabarnya di sana belum terlalu
ramai pengunjung, dan indah lagi.”
“Asalkan yang lain setuju, aku ikut.”
“Ya aku juga.”
“Nicha, Sei kalian ikut tidak?” Adre bertanya seakan menyindir
kita berdua yang dari tadi hanya diam, “Ikut aja gih, ntar di sana kalian bisa
berduaan lebih lama. Hehehe… kan kalian ini memang benar-benar cocok, sama-sama
pendiam, cuek, dan gak pedulian.”
Blushh…
Aku menyembunyikan muka merahku dengan tidak menghadap Adre.
Kata-kata Adre mengingatkanku saat aku dan Sei di lab biologi kemarin. Untung
saja tidak ada yang tahu jika aku dan Sei hanya berdua di sana.
“Hei jawab donk…” Adre sewot.
“Terserah orang yang di depanku saja,” jawab Sei dengan nada
malas. Dan tepat sekali bangkuku berada di depan bangkunya. Lalu, siapa lagi
yang dimaksud kalau bukan aku.
“Tuh kan, Nicha… Sei sudah mempercayakan semuanya kepadamu.”
“Eh, apa maksudmu? Kau bisa memutuskan sendiri kan? Jangan
seperti anak kecil.”
Tidak ada jawaban dari Sei.
Tiba-tiba Sei terbangun
dari duduknya, membuat pandanganku yang dulu mengintimidasinya ikut terbawa ke
arah atas.
“Ok. Aku yang putuskan. Kita ikut,” ucapnya sambil mengusap poniku.
Hal itu sontak membulatkan mataku. Dia bahkan tidak meminta
persetujuan dariku tentang keputusannya itu.
“Baiklah, Nicha dan Sei ikut. Kita berangkat besok pukul 9 pagi
ya. Kumpul di taman samping sekolah saja. Kita akan berangkat dengan kereta
antarkota.” Adre mengakhiri perbincangan.
***
Angin menerpa ria
rambutku. Pantai ini cukup sejuk. Tawa-tawa temanku membising di telinga kanan
maupun kiriku membuatku susah berkonsentrasi dengan light-nove yang sedang
terbuka di tangan kananku. Ku lihat kakiku bersentuhan dengan pasir putih yang
lembut. Ku coba menggeseknya. Ombak pantai menyentuh kakiku sampai basah. Dan akhirnya
aku sadari bahwa ada seseorang yang sama-sama
sedang berdiri di samping kananku.
“Kenapa tidak seceria mereka?” tanya Sei yang sedang di
sampingku sambil menatap pantai dengan suara yang khas itu.
“Aku tidak seperti mereka. Seperti ini pun aku sudah senang.”
“Kau memang sama dengan orang itu, meskipun tidak persis.”
Kata-katanya seperti saat di lab biologi waktu itu.
“Siapa?” kuberanikan untuk bertanya.
“Tidak, lupakan saja. Dan ini perintah.”
“Eh.”
Perintah macam apa itu. Dasar.
.
.
.
“Kau cantik.”
“Eh.”
.
.
Hening…
.
.
Blush…pipiku memerah…
.
.
.
Sei… apa yang kau pikirkan.
Kau membuatku salah tingkah di depanmu.
“Bisa kau singkirkan poni yang menghalangiku untuk melihat
wajahmu itu.”
Lagi-lagi dan pipiku semakin memerah.
“Sei, jangan seperti itu, kau membuatku…”
“Membuatmu apa?”
“Ah sudahlah.”
“Aku suka melihat wajah malumu seperti itu.”
Dari mana dia bisa tahu
kalau aku sedang malu. Oh, tidak dia bisa melihat wajahku yang sudah semerah
delima ini.
Aku pun hanya tersenyum dan mencoba membaca light-noveku
kembali.
Srett__
Dia merampas light-noveku dan Wusss…byurr…
Dia melemparnya ke laut.
“Sei, apa yang kau lakukan. Itu serial terakhir yang aku baca
setelah aku membaca 4 serial sebelumnya. Ambil kembali, cepat,” bentakku keras
melihatnya telah membuang light-nove ku kelaut.
“Tidak.”
“Sei.”
“Kenapa? Kau marah.”
“Ya jelas aku marah. Dasar kau in…”
Dia menyetop bibirku dengan ujung telunjukknya.
.
.
.
“Bagaimana jika aku yang hilang meninggalkanmu, akankah kau
semarah itu?”
.
.
.
“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Tapi pastikan kau
menemukan jawabanmu besok di atas gedung yang sering kau pijak dan di waktu
dimana hari mulai berganti. Dan jangan sampai kau melepaskan bagian yang
penting dalam hidupmu.”
Aku masih terdiam di tempatku sedangkan dia sudah berlalu
setelah mengucapkan itu.
***
“Sei. Kau
membuatku berpikir keras seperti ini. Aku harus jawab apa? Tapi, apakah
pertanyaan itu serius? Sei tidak pernah bercanda kan? Pasti itu seperti yang
biasa dia lakukan. Itu perintah -_-. Bagaimana donk. Aku harus jawab apa?”
gumamku sambil memandang langit-langit kamar.
Meow,
meow…
“Noky,
hari ini hari yang berat untukku. Apalagi besok. Hemmphh, aku ngantuk mau tidur,
kau juga tidur ya. Daaa…”
Lalu
kumatikan lampu kamarku.
***
“Nicha, Sei kemana? Kok tidak masuk hari ini?”
“Ya gak tau lah.Kenapa tanya aku sih Dre?”
“Ya kan kamu pacarnya.”
“Bukan, Woy. Enak aja lu ngomong.”
“Gomen-gomen, habisnya gak ada surat izin darinya.”
“Mungkin nanti siang.”
Bel pulang berbunyi,
Adre sampai sekarang belum menerima surat izin dari Sei. Dia kemana? Dan
mengingat akan hari ini, aku harus menjawab pertanyaan kemarin kan. Seharusnya
dia masuk sekarang jika ingin mendengar jawabanku. Atau mungkin dia tidak ingin
mendengarnya.
“Eh tunggu dulu, jangan – jangan dia tidak masuk hari ini
karena…”
Tiba-tiba pikiran itu lewat begitu saja. Mungkinkah dia
meninggalkanku sekarang?
Hal itu sangat berkaitan dengan pertanyaannya kemarin.
Tetapi, aku harus kemana sekarang. Ke rumahnya?
“Dre, kamu tahu rumahnya Sei tidak?”
“Aku tidak yakin, tetapi mungkin di document wali kelas ada.”
“Temani aku meminta document itu.”
“Baiklah. Kau ini memang pacar yang perhatian ya. Sampai
khawatir sebegitunya.”
“Diam kau.”
Setelah diizinkan oleh
wali kelas untuk mengambil document tersebut. Aku dan Adre segera membuka
beberapa lembar kertas yang berisi biodata-biodata anggota kelas. Dan aku masih
mencari milik Sei di sana.
“Cha, ini punya Sei kan? Ganteng ya fotonya.”
“Di mana alamatnya?” aku berusaha ikut melihat biodatanya.
“Perumahan Anggrek.”
“Apa? hanya segitu doang. Baiklah, Dre tolong bereskan semua ini,
aku akan ke rumah Sei sekarang.”
“Loh, Cha tunggu. Masa aku yang harus beresin semuanya sih,
blablabla…”
***
Sesampainya di
perumahan Aggrek…
“Mana ya rumahnya? Mungkin rumah yang paling besar, diakan anak
orang kaya.”
Sampai akhirnya aku menyerah untuk menggoes sepedaku lagi. Aku
putuskan bertanya kepada pak penjaga (satpam) yang tidak sengaja lewat di
depanku.
“Pak, rumahnya Sei itu dimana ya?”
“Sei siapa ya?”
“Yang 1 minggu lalu pulang dari Amerika.”
“Oh yang itu. Baru saja mobil putih keluar dari rumah yang ada
di depannya adik.”
“Rumah ini?” sambil menunjuk ke rumah di depanku.
“Kira-kira mau kemana?”
“Kabarnya sih ke bandara untuk kembali ke Amerika.”
“Ke Amerika? Oh ya sudah pak. Terima kasih.”
“Sama-sama, dik.”
Sei kembali ke Amerika,
tetapi kenapa tidak ada kabar. Tunggu! Memangnya aku ini siapa yang harus dapat
kabar darinya. Berat untuk menerima kenyataan. Tanpa pikir, aku menggoes
sepedaku untuk ke bandara. Bahkan, aku menerobos lampu merah.
“Sei, jangan pergi.”
Rasanya ingin menangis, tapi aku menahannya.
Aku memotong jalan dengan berbelok ke gang yang lebih sempit.
Gubraaakkk…
Aku terjatuh…
.
.
.
Serasa tidak ada harapan.
Aku sudah tidak bisa mengejarmu, Sei.
Sepedaku rusak menabrak beberapa benda di tikungan gang.
Meskipun terkesan menyerah aku tetap berpikir agar aku sampai ke
bandara.
Sambil memandangi luka dilutut dan sikuku.
Deegg…
“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Tapi pastikan kau
menemukan jawabanmu besok di atas gedung yang sering kau pijak dan di waktu
dimana hari mulai berganti. Dan jangan sampai kau melepaskan bagian yang
penting dalam hidupmu.”
Aku teringat ucapannya.
“Di atas gedung yang sering aku pijak dan di waktu dimana hari
mulai berganti. Di mana tempat itu? Dan kapan itu?”
Aku berpikir keras, memecahkan arti dari ucapan demi ucapan itu.
.
.
.
.
“Ya aku tau. Atap sekolah. Sekolah adalah gedung yang sering aku
pijak, dan di atasnya berarti di atap. Pada pukul 5 sore. Jam segitu matahari
mulai turun kan, dan siang akan berganti malam.”
Tanpa pikir panjang aku mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir
bawahku sendiri, aku menahan sakit dari luka-luka ini.
Aku berlari sekuat
tenagaku. Memotong arah sana dan sini, teriakan orang-orang yang aku tabrak di
setiap sisi jalan. Dan aku hanya membalas dengan “Maaf” dan kembali melanjutkan
lari ini. Badanku mulai lemas, nafasku terengah-engah. Jarak yang harus aku
tempuh begitu jauh. Aku berhenti sebentar dan melihat jam di tanganku yang
sudah menunjukkan 4 lebih 50. 10 menit lagi tepat pukul 5. Sedangkan perjalanan
masih lumayan jauh untuk sampai ke gedung sekolah. Aku harap aku bisa mengejar
waktu.
***
Hosh__hosh__hosh…
Aku sampai di anak tangga untuk mencapai atap sekolah. Tenagaku
terkuras di dua deret anak tangga yang
telah kulalui sebelumnya, apalagi waktu sudah lebih 5 menit dari pukul 5.
“SSebentar l-lagi aku sss—sampai,”ucapku gemetaran.
Aku mulai melangkahkan kakiku yang sudah gemetaran ini ke anak
tangga.
Dan tanpa pikir panjang aku berlari lagi,
Badan ini memanas karena lelah.
Braakkk…
Aku membuka pintu atap dengan paksa.
“S-Sei.” “Aku s-sudah sampai.Kau di m-mana?”
Tidak ada jawaban. Semua hening, hanya aku di sini.
Aku pun tersungkur dan jatuh. Aku menunduk dan tak pernah
kuinginkan untuk menjatuhkan air mata. Aku menangis dengan sendirinya. Aku
merasa berat untuk semua ini.
“Sei, aku sudah tahu jawabannya, kau tidak ingin mendengarnya?
Aku, aku tidak ingin kehilanganmu, jangan meninggalkanku seperti ini. Aku sama
sekali tidak ingin kau pergi. Sei, aku menyukaimu.”
.
.
.
Kuucapkan dengan tangisan yang terisak-isak.
.
.
.
Tidak ada suara yang aku dengar selain tangisanku.
.
.
.
“Jadi, itu jawabannya.” Suara khas itu terdengar lagi.
.
.
“Sei.” Aku pun segera melihat ke arah sumber suara.
Dia mengulurkan tangannya kepadaku dan membantuku bangun.
“Aku rasa ada jawaban yang lebih di sana. Selain kau tidak ingin
kehilanganku, kau juga berkata di bagian terakhir bahwa kau…”
“Ya, aku menyukaimu,” sambil ku bungkam mulutnya dengan
tanganku.
Mendengar itu wajahnya
berubah menjadi lesu, terlihat seperti acuhan yang lembut.
“Tapi, aku harus tetap pergi. Aku harus kembali ke Amerika dan
menetap di sana. Lagipula kau tidak mengatakan bahwa aku penting.”
“Tapi…”
“Sudahlah, tidak perlu kau pikirkan. Kita dipertemukan untuk
berpisah hari ini. Dan bisa saja kita bertemu lagi untuk bersama besok. Oh ya,
kau sama dengan orang itu. Orang yang dulu pernah aku cintai. Tapi…itu sudah
berlalu lama sekali, tidak seharusnya aku menyamakanmu dengan dia.”
“Sei. Kau tidak boleh seperti itu, aku sudah memberikan jawaban.
Seharusnya…
“Kau memang sudah memberiku jawaban. Dan kau harus tahu bahwa
terkadang seseorang harus rela melepaskan yang penting dalam hidupnya untuk hal
penting yang lain.”
“Oh ya, 1 minggu cukup kan untuk kita yang seperti ini,” lanjut
katanya sambil mengusap poniku dan pergi menuruni atap sekolah.
Ya, dia meninggalkanku di atap sekolah sendirian di hari yang
mulai malam ini.
Serasa ditekan batin
ini. Dia hanya memberi harapan yang seakan benar-benar nyata. Dan kata-kata
yang ia ucapkan kepadaku seolah memberiku pelajaran yang begitu menyakitkan
jika dirasakan. Melepaskan hal penting untuk mendapatkan hal penting yang lain.
***
Aku rasa sudah tidak seharusnya aku menangisi ini
semua. Aku lelah. Aku ingin segera beristirahat dan merenungi kejadian di
sehari penuh ini. Pukul 07.00 malam aku baru sampai di rumah. Karena jatuh
bangun tadi, seragam sekolahku terlihat sangat lusuh.
Air yang menyiramku di kamar mandi seakan menemaniku
menangis malam ini.
***
“Nicha.” Seseorang yang suaranya sangat aku kenal mengelus
rambutku di pagi hari yang sudah melelahkan ini.
“Emh…” aku membuka mataku dari tidurku,
“Mama?”
“Hai, mama pulang.”
“Ma, Nicha kangen banget sama mama. Seminggu ini Nicha
sendirian. Hanya Noky yang nemenin Nicha,” ucapku sambil memeluk mamaku yang
baru saja pulang dari luar kota.
“Maaf ya. Mama baru bisa pulang sekarang.”
“Papa mana?”
“Papa baru bisa pulang besok.”
“Baiklah, yang penting mama sudah sampai rumah sekarang.” Aku
memeluk mamaku lagi.
Hal itu mengingatkanku
padamu, Sei. Kau itu juga penting bagiku. Meskipun pada akhirnya aku harus
melepasmu.
SELESAI.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Author's Time~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hai, ini cerita romance pertamaku yang selesai dengan tuntas. :v
Btw, nama-nama tokohnya, aneh :v
Alurnya juga GJ. Maafkan :'v
Ini cerita hanya aku buat untuk merealisasikan salah satu dari banyak bayangan2 cerita di pikiranku.
Thanks for read.
Comments
Post a Comment