Skip to main content

Ini Bukan Tentang Satu Minggu


 
“Kau melamun ya?” tanya Adre saat melihatku terduduk sendiri di bangkuku.
“Tidak, aku hanya sedang melihat ke luar jendela. Cuaca tidak mendukung hari ini, tapi mereka masih saja bersenang-senang,” ucapku mengarah kepada mereka yang berada di lapangan sekolah.
“Heh, mereka itu memanfaatkan waktu yang ada, tidak seperti kau yang hanya tetap duduk diam di bangkumu saat jam istirahat. Pantatmu tidak panas apa?”
“Dasar kau ini,” “Kalau begitu, temani aku jalan-jalan keluar kelas!”
“Nah, begitu dong. Ayo!”
    Aku pun beranjak dari bangku yang sebelumnya sudah lama aku duduki. Aku lihat Adre sangat bersemangat.
    Kaki ku mulai melangkah keluar pintu kelas. Tanpa tujuan yang tampak jelas, aku terus berjalan, dengan Adre di samping kiriku. Kami tidak banyak bicara saat itu.
    Seseorang dengan seragam sekolah sepertiku, hanya saja dia memakai celana panjang dan aku memakai rok hitam pendek berwiru di atas lutut. Tatapannya yang dingin nan lurus melewatiku begitu saja dari arah yang berlawanan. Kedua tangannya mengayun, kakinya melangkah tegas, kanan dan kiri.
“Dia sombong ya!” Adre mengatakannya saat seseorang itu sudah berada sedikit jauh di belakang kami.
“Baka, jangan mengatakannya keras-keras!”
“Tapi, itu betul kan?”
“Siapa juga yang peduli.”
.
.
.
Teet__teeet__teeeet
.
.
.
    Bel berbunyi, aku pun meletakkan botol air mineral yang aku beli dari kantin sekolah di atas meja kantin. Aku dan Adre pun segera kembali ke kelas untuk kembali menerima pelajaran.
    Aku kembali duduk di bangku kesayanganku. Tepat di belakangku, duduklah seorang yang baru saja aku kenal 3 hari yang lalu. Dia seorang murid pindahan dari Amerika, lebih tepatnya ia baru saja pulang dari Amerika. Dialah orang yang Adre bilang sombong tadi. Panggil saja dia Sei.
    Pembimbing masuk dan memberikan pelajaran seperti biasa, sampai akhirnya bel pulang berbunyi dan pelajaran terpaksa harus dilanjutkan di pertemuan berikutnya.
“Nicha, ayo pulang!” ajak Adre kepadaku.
“Tunggu, aku rasa, aku kehilangan bolpoinku.”
Aku pun mencarinya di sekitar bangku yang aku duduki tadi.
“Ini.” Ucap Sei sambil meletakkan sebuah bolpoin di mejaku ketika aku dan Adre masih sibuk mencari.
“Eh, terima kasih.” Tetapi dia pergi sebelum aku mengucapkannya.
“Huh, sombongya,” Adre kesal
“Sudahlah, yang penting bolpoinku ketemu. Sekarang ayo kita pulang.”
.
.
.
“Jaaa… Nicha sampai jumpa lagi yaaa,” teriak Adre masih sambil menggoes sepedanya meninggalkanku. Sedangkan aku berbelok ke arah kiri untuk masuk ke perumahan sederhana, di mana rumahku terletak di dalamnya.
    Sesampainya di depan rumah, aku segera membuka gerbang rumahku dan memasukkan sepedaku ke garasi, serta mengunci gerbang rumahku kembali. Ya, aku sendirian di rumahku lagi. Ayah dan ibuku sedang ada bisnis di luar kota selama 1 minggu. Dan mereka baru saja berangkat tiga hari yang lalu. Masih ada waktu 4 hari untukku menikmati kesendirian ini.
Meooww…meooww…
“Noky, kau tahu kalau aku sudah pulang ya?” kataku kepada kucingku yang mungkin baru saja bangun dari tidur siangnya karena tahu aku sudah pulang.
    Seperti biasa aku langsung menuju ke kamarku dan segera mengganti seragam sekolahku. Tumpukan buku sudah aku siapkan di meja kecil belajarku dari semalam. Aku akan membacanya hari ini. Tumpukan itu bukan buku pelajaran, melainkan buku bacaan dengan isi yang aku sukai. Membaca yang seperti itu tidaklah membosankan bagiku, meskipun terkadang sampai larut malam.
.
.
.
Driiingg__driiingg__driiingg__
    Ada pesan masuk di ponselku.
From     : Adre
To       : Nicha
“Kau datang ke pestanya Axel kan pukul 20.00 nanti?”

From     : Nicha
To       : Adre
“Mungkin, tapi jangan menungguku.”

Dan tidak ada balasan lagi dari Adre. Memangnya aku harus pergi ya? Tetapi bagaimana dengan buku-buku ku ini, aku tidak terlalu tega untuk meninggalkan mereka sendirian.  Tetapi, ya sudahlah, paling tidak aku punya waktu selama 8 jam lagi untuk membaca buku-buku ini, sebelum aku pergi ke pesta nanti.
Sepertinya Noky lapar, aku akan memberinya makan siang terlebih dahulu. Lalu, aku akan membaca buku-buku favouriteku lagi. Dan mungkin nanti aku bisa tidur sebentar untuk istirahat.  
***
Jam di dinding kamarku telah menunjukkan pukul 19.25, aku rasa sudah waktunya aku bersiap untuk datang ke pestanya Axel.
“Hai,” sapa Reo di depan gerbang rumahku. Pasti dia sedang bersama Adre di mobilnya. Dasar Adre, sudah ku bilang jangan menunggu, masih saja melakukan itu. Apalagi, bersama pacarnya, Reo.
    Pasti mereka berangkat bersama kali ini. Duh,jadi merasa seperti obat nyamuk.
“Nah, Nicha, kau cantik hari ini,” kata Adre dari bangku depan di samping Reo.
“Apaan sih, sudah cepat jalan, keburu terlambat nanti.”
.
.
.
    Kami bertiga pun sampai di rumah megah milik si Axel. Ku lihat tamu-tamu yang datang menggunakan pakaian yang gemerlap dan indah di malam ini.
“Ku kira kau tidak akan datang dan lebih memilih berdiam diri di kasur sambil membaca light-nove romancemu itu,” sambutan yang begitu menyindir dari Axel kepadaku. Dan aku pun hanya tersenyum dan berjabat tangan dengannya.
.
.
.
“Ok. Sekarang pesta akan dimulai. Ini adalah pesta penyambutanku kembali ke negeri ini setelah satu bulan di London. Oleh karena itu, aku ingin ada pesta dansa di sini. Dan Adre akan membagikan kartu acak kepada teman-teman perempuan sekalian. Reo juga akan membagikannya ke bagian teman-teman laki-laki. Jadi, yang mendapatkan nomor kartu sama, maka mereka akan jadi pasangan dansa yang akan berdansa bersama dengan lantunan musikku malam ini,” kata Axel memulai acaranya.
    Pasangan? Yakali aku berdansa dengan seorang cowok nantinya. Pesta ini gila, aku akan segera pulang.
“Hei, Nicha, kau mau kemana? Cepat ambil satu kartu!” Adre mencegahku.
“Dre, kamu tahu kan, aku tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Apalagi di sini tidak semua orang aku kenal. Bagaimana jika aku mendapatkan pasangan yang tidak aku kenal? Ha?”
“Justru itu, ini waktumu untuk memulai belajar berinteraksi,” “Ini aku ambilkan kartu untukmu,” sambil menyodorkan kartu kepadaku.
    Hanya semakin merasa jika waktuku terbuang sia-sia di pesta ini. Ya, meskipun pada akhirnya aku mengikuti permintaan dari Adre.
Brukk__
”Eh..” kartu yang belum sempat aku balik pun jatuh karena ada seseorang yang menabrakku dari arah belakangku. Dan aku lihat kartu miliknya juga jatuh. Sehingga kami harus mengambilnya.
“Sebelas?”
“Sebelas?” tanyanya.
“Mungkin kartu kita tertukar.”
“Aku juga nomor sebelas.”
“Eh, jadi… “
.
.
.
“Guys, kalian sudah menemukan pasangan kalian masing-masing kan? Baiklah selamat menikmati lagu yang satu ini. Berdansalah dengan tenang.” Axel pun menyalakan lagunya.
***
    Ternyata dia juga ada di sini. Si Sei yang pernah study di Amerika itu. Dan sekarang dia ada di depanku. Matanya sedang dingin menatapku. Sampai aku merasa tak sanggup untuk balik menatapnya. Dialah pasangan dansaku malam ini.
    Aku sangat kaku di depannya. Tetapi, tak ku sangka, dia yang pendiam dan dingin seperti itu memperlakukan tubuhku dengan lembut saat dansa. Dia terlihat sudah berpengalaman dalam dansa. Seketika itu aku merasa berdansa dengan seorang pangeran kerajaan. Semakin aku perhatikan, wajahnya pun semakin tampan. Dan kini, wajah itu semakin mendekat ke wajahku.Dan…
“Permisi, kalian pasangan nomor berapa?” Seseorang bertanya kepada kami berdua yang seakan tak peduli dengan sekitar karena asik berdansa.
“Sebelas,” jawabku singkat, karena Sei masih melangkahkan kakinya ke kiri maupun kanan dengan tanganku berada di pundaknya dan kedua tangannya di pinggangku.
Seseorang yang bertanya itupun pergi.
“Oh, maaf. Aku ingin ke toilet sebentar,” kataku sambil melepaskan peganganku dan mundur 1 langkah menjauhi Sei.
Tanpa izin darinya aku langsung balik badan dan meninggalkannya menuju ke toilet.
.
.
.
“Bodoh, kenapa aku secanggung itu. Aku tak seharusnya seperti ini. Dan dia, kenapa harus dia sih yang jadi pasanganku. Jantungku mulai berisik tadi, untung saja kini sudah mulai tenang,” bicaraku dengan aku yang ada di cermin toilet sebelum akhirnya aku menundukkan kepalaku.
.
.
.
“Baiklah, kita sudah sampai di puncak acara, aku akan memanggil pasangan yang paling romantis malam ini,” ucap Axel, “Dan mereka, adalah pasangan nomor sebelas. Beri tepuk tangan untuk mereka…”
    Sebelas? T-t-tapi, itu kan nomor pasanganku dengan Sei. Apaan ini?
Grep__
Sei menggandeng tanganku dan menarikku berjalan ke atas panggung.Hal itu sempat membulatkan mataku. Axel pun memahkotai kami berdua dan memberiku sebuket bunga sebagai tanda bahwa kami pemenang malam ini. Tepuk tangan pun bersahut-sahutan. Ada juga yang berbisik iri saat melihatku berada di samping Sei.
“Coba aja kalo bukan sama Sei, pasti kalah.”
“Sei-kuunn, kenapa kamu tidak denganku saja.” Dan blablala…
    Sei pun berjalan menuruni panggung tanpa menggandengku lagi. Itu tak begitu masalah untukku. Karena dia terlihat buru-buru dan jam pun sudah menunjukkan pukul 22.10, aku harus cepat pulang.
“Eh, Xel, aku harus pulang, sudah jam segini. Si Noky juga belum makan >.<” pamitku kepada Axel.
“Oh ya. Terima kasih sudah datang, dan selamat ya,kau cocok sekali dengan Sei tadi. Hehehe :D”
“Apaan sih.”
    Masih dengan mahkota dan sebuket bunga merah yang Axel hadiahkan kepadaku, aku langsung pergi meninggalkan pesta yang masih ramai itu. Karena aku tidak membawa sepeda atau transportasi apapun, jadi aku harus melangkahkan kaki ini ke rumahku yang cukup jauh dari posisiku saat itu.
    Cukup jauh aku berjalan dari rumah Axel, dengan gaun coklat selutut yang aku pakai, angin menghebus lembut kulit pucatku, dingin menembus sel-sel tulangku.
Sreeeett__(suara mobil direm)
Mobil putih berhenti di samping kiri trotoar yang aku pijak, itu otomatis juga membuatku berhenti dan menengok ke arah kaca mobil itu.
“Masuklah, atau akan aku paksa!” itu terdengar seperti perintah bukan ajakan ataupun lain-lain.
“Apa maksudmu? Aku tidak mau.”
“Dasar.” Kemudian dia keluar dari mobilnya dan menghampiriku serta memaksaku untuk masuk ke mobilnya.
“Sei, lepas.” tetapi dia tetap menarikku masuk ke mobilnya dan akhirnya dia berhasil membuatku duduk di kursi depan bagian kiri, di mana tepat di samping kiri dia menyetir.
“Memangnya kau akan membawaku ke mana?”
Karena lama tidak ada jawaban, aku langsung saja meletakkan rangkaian bunga serta mahkotaku di samping kanan jok mobilnya yang sedang aku duduki.
“Perempatan ini belok ke mana?” tanyanya tiba-tiba saat mulai mendekati perempatan dari jalur rumah Axel dekat rumahku.
“Kanan.”
Dia pun berbelok ke kanan dan berjalan lurus menuju ke rumahku.
“Sto..” belum selesai aku mengucapkannya, Sei sudah memberhentikan mobilnya terlebih dahulu.
“Dari mana kamu tahu kalau ini rumahku?”
“Terlihat dari ekspresimu yang ingin berkata *berhenti*,” jawabnya.
Apa? Mengapa bisa seperti itu? Apakah dia bisa membaca pikiran? Aku bergumam sebentar.
“Baiklah, terima kasih,” dan aku membuka pintu mobil, kemudian aku keluar darinya.
    Aku tidak melihat dia mengangguk, hanya saja aku melihat tatapan dinginnya yang masih lurus untuk menyetir mobilnya lagi. Tanpa pikir panjang, dia pun langsung meninggalkanku di depan pintu gerbang yang bernomorkan 32.
    Aku membuka gerbang rumahku dan langsung masuk menuju ke kamarku. Aku terburu-buru sehingga aku tidak benar-benar mengunci gerbang rumahku. Aku melihat Noky masih tertidur pulas di karpet kamarku. Kasihan, malam ini dia belum makan. Mengingat itu, aku segera melepas gaunku dan menggantikannya dengan baju tidurku, karena aku harus segera tidur. Sudah pukul 22.30 sekarang.
“Noky-noky… bangun dan makanlah, maaf ya membuatmu menunggu.”
Indra penciuman Noky yang kuatpun membuat Noky segera tersadar dan bangun untuk memakan makanan kucing yang sudah aku siapkan.
Ting__tong__(suara bel rumahku berbunyi)
“Eh, ada yang datang, siapa ya?”
Aku segera mendatangi pintu dan Noky mengikutiku dari belakang.
Aku pun membuka pintunya.
Berdiri seorang berjas putih sedang memegangi sebuket bunga merah. Aku kenal orang ini, dialah Sei.
“Oh ya, bungaku ketinggalan di jokmu tadi, terima kasih,” tetapi dia tidak segera memberikan bunga yang sudah jelas-jelas milikku.
“Dasar ceroboh!”
“Ya maaf, aku tahu.”
“Jika kau tahu, kau tidak akan melakukan itu, bodoh.”
“Apa maksud dari perkataanmu? Baiklah ambil saja bunga itu,” aku yang sudah berbalik badan untuk menutup pintu, langkahku terhambat oleh sahutan tangannya yang menahanku. Sontak aku kaget dan berbalik badan kembali kepadanya.
“Apa lagi?”
“Meoowww…” oh tidak Noky untuk apa kau di sini sih.
“Kucing pemarah.” Dia menyeringai seakan dia bangga akan kata-kata yang telah dia ucapkan padaku, memangnya apa maksud dari perkatannya itu. Dia melanjutkannya, “Ini, lain kali jangan ulangi,” sambil memasangkan mahkota ke atas kepalaku dan menyodorkan sebuket bunga itu. Aku kaget dan aku pun menerimanya.
    Setelah itu, dia berbalik badan, dan pergi menuju ke mobilnya. Mataku masih saja mengamati tubuhnya yang tinggi tegak nan semampai bak model professional itu. Langkah kakinya, yang berwibawa seakan dia adalah seorang keturunan darah biru. Jas putih yang dia kenakan malam ini sangatlah cocok dengan perawakannya, sehingga dia terlihat sangat tampan, meskipun hanya punggungnya yang kini terlihat.
    Dia pergi mengendarai mobilnya lagi dan setelah dia pergi, aku menutup pintu gerbang yang sempat dia buka dan aku masuk ke rumahku kembali.
    Di kamarku, ku letakkan serangkai bunga itu di atas meja belajarku.
“Dasar,Sei. Memangnya dia itu siapa bisa berbicara seperti itu padaku? Dan apa yang dimaksud *Kucing Pemarah* ?
***
    Keesokan harinya, di sekolah, seperti biasa aku berangkat dengan sepeda dan memarkirnya di tempat parkir sekolah.
    Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke kelas, memangnya mau kemana lagi.
    Surainya melambai dengan nyaman di sekitar matanya, tatapannya mengarah keluar jendela.
Oucch, aku kalah cepat hari ini.
Biasanya aku yang datang terlebih dahulu. Namun, Sei mendahuluiku lagi setelah kemarin.
    Ku letakkan tas sekolahku di bangku yang ada di depan bangkunya. Aku duduk dan mengeluarkan light-nove ku. Mulai ku baca lembar demi lembar, sampai-sampai aku tak ingat bahwa aku sedang berada di kelas yang masih sepi ini. Aku terlalu khidmat membaca light-nove ku itu.
“Ehh… pasangan dansa sudah datang ternyata,” ucapan Adre yang baru datang itu mengacaukan konsentrasiku. “Kenapa diam-diaman sih? Aku menganggu ya,maaf deh.”
Di antara kami berdua, tidak ada yang menjawab ocehan ataupun pertanyaan Adre.
.
.
.
    Saat istirahat, kelas pun sudah terbiasa untuk sepi. Semua teman keluar kelas dengan tujuan masing-masing. Adre yang kadang mengajakku keluar sedang ada pertemuan dengan pacarnya, Reo. Dan lagi-lagi aku sendirian di kelas hanya memandangi light-nove serta mencoba membacanya.
“Kau tidak ingin keluar?” tanya seseorang membuat kepalaku mendongak ke arahnya dan sedikit kaget karena kukira aku sendirian.
“Tidak, kau sendiri sama saja,” jawabku kepadanya.
“Kata siapa? Aku ingin mengajakmu keluar.”
Kata-kata itu sontak membulatkan mataku.
Tanpa aku mengiyakan, dia sudah berlalu sambil berkata, “Ke Lab Biologi sekarang!” sekali lagi itu bukan merupakan ajakan yang baik dari seorang Sei, melainkan sebuah perintah, dan entah mengapa aku tidak menolaknya.
***
    Di lab biologi, aku tertegun, di sana banyak barang tidak berada di tempatnya.
“Bantu bersihkan!”
“Watde!!Apa maksudmu, kau menyuruhku membersihkan lab ini? Aku tidak mau.” Aku membalikkan badanku dan siap untuk melangkah pergi dari lab itu.
Grep__
“Kau benar-benar tidak mau? Padahal aku ingin kau berada di sini,” ucapnya sangat dekat di teligaku.
Bagaimana tidak. Saat aku akan pergi dari lab itu, belum satu langkah dia menahanku dengan menarik tanganku sampai posisiku seperti sekarang ini. Aku canggung dalam hal ini, wajahnya tepat berada di samping telinga kananku. Ucapannya itu seakan seperti bisikan yang membuatku sedikit gemetaran.
“Iya, ya. Baiklah.” Bodoh!! Kenapa aku menerimanya.
    Apakah hanya dengan bisikan itu, aku luluh dan tunduk dengan perintahnya. Memangnya siapa dia. Raja? Bukan kan?
    Pertanyaan yang tak perlu dijawab.
“Buku-buku ini harus aku taruh mana?” tanyaku kepadanya sambil menggendong buku-buku tebal.
Dia pun membalikkan badannya dan menatapku dingin, wajahnya datar memang, tetapi tatapan mata indah itu serasa tajam dan menusukku seketika. Karena lama tidak menjawab. Aku pun mengulangi pertanyaanku.
“Anoo… buku ini…” belum selesai mengulang pertanyaanku.
Sekarang dia sudah berada di dekatku. Aku pun melangkah ke belakang untuk menjauhkan tubuhku darinya.
Dukk__
    Tubuhku sudah menyentuh meja di dekat jendela lab.
Apa yang ingin dia lakukan? Aku bingung sampai-sampai aku menundukkan kepalaku.
Dia meletakkan kedua tangannya ke meja di samping kanan dan kiri tubuhku. Dia mendekatkan wajahnya ke kepalaku yang menunduk. Aku merasakan dagunya menopang di kepalaku.
“Kau ini bodoh ya. Dasar!! Kau mengingatkanku kepada seseorang. Tapi, tak sebodoh dirimu.” Apa maksud dari perkataannya itu. Dia mengejekku.
“Sudahlah. Aku tidak peduli,” aku pun bangkit dan segera pergi dari penjara tangannya saat itu.
.
.
.
“Sudah bersih kan? Aku akan kembali ke kelas.”
Aku mengambil light-nove ku yang dulunya aku letakkan di atas meja kecil di lab biologi tersebut.
Sreett…
Dia mengambilnya sebelum tanganku menyentuh light-nove ku.
“Berhentilah membaca yang seperti ini. Ini membuatmu bodoh.”
“Kembalikan. Eh…”
Tangannya berada di pipiku sekarang.
“Apaan sih,” sentakku geram.
“Debu.”
“Eh, debu? Terima kasih. Tapi, kau tak perlu melakukannya. Memberitahukannya kepadaku saja sudah cukup.” Ternyata dia mengusap debu yang menempel di pipiku.
“Banyak omong,” dan dia pergi melewatiku begitu saja, dan menjatuhkan light-noveku. Aku pun geragapan menangkap light-nove ku, dan diam setelah mendapatkannya.
.
.
.
Tap_tap_tap…
Langkahku menuruni anak tangga untuk menuju ke kelas setelah lelah membersihkan lab biologi.
Baru sampai di anak yang ke lima, kurasa sepatuku menjadi licin dan aku terpeleset.
    Oh, aku tidak sampai terpeleset karena seseorang menahanku dari belakang. Sontak aku kaget dan melihat siapa itu.
“Sei?” kagetku sampai-sampai mengucapkan namanya.
“Ceroboh.” Lalu, dia pun berjalan mendahuluiku setelah menyelamatkan ku dari jatuh.
    Tapi, bagaimana bisa dia ada di belakangku? Bukankah dia sudah pergi lebih dahulu dari lab daripada aku? Dari mana saja dia? Huufftt… untuk apa juga aku pikirkan.
Dia melepaskan pegangannya dan berjalan mendahuluiku lagi.
***
Keesokan harinya di kelas.
“Eh, besok kan weekend, kita jalan-jalan sekelas yuk,” ajak seorang teman sekelasku.
“Memangnya mau kemana?”
“Di pantai samping kota saja. Kabarnya di sana belum terlalu ramai pengunjung, dan indah lagi.”
“Asalkan yang lain setuju, aku ikut.”
“Ya aku juga.”
“Nicha, Sei kalian ikut tidak?” Adre bertanya seakan menyindir kita berdua yang dari tadi hanya diam, “Ikut aja gih, ntar di sana kalian bisa berduaan lebih lama. Hehehe… kan kalian ini memang benar-benar cocok, sama-sama pendiam, cuek, dan gak pedulian.”
Blushh…
Aku menyembunyikan muka merahku dengan tidak menghadap Adre. Kata-kata Adre mengingatkanku saat aku dan Sei di lab biologi kemarin. Untung saja tidak ada yang tahu jika aku dan Sei hanya berdua di sana.
“Hei jawab donk…” Adre sewot.
“Terserah orang yang di depanku saja,” jawab Sei dengan nada malas. Dan tepat sekali bangkuku berada di depan bangkunya. Lalu, siapa lagi yang dimaksud kalau bukan aku.
“Tuh kan, Nicha… Sei sudah mempercayakan semuanya kepadamu.”
“Eh, apa maksudmu? Kau bisa memutuskan sendiri kan? Jangan seperti anak kecil.”
Tidak ada jawaban dari Sei.
    Tiba-tiba Sei terbangun dari duduknya, membuat pandanganku yang dulu mengintimidasinya ikut terbawa ke arah atas.
“Ok. Aku yang putuskan. Kita ikut,” ucapnya sambil mengusap poniku.
Hal itu sontak membulatkan mataku. Dia bahkan tidak meminta persetujuan dariku tentang keputusannya itu.
“Baiklah, Nicha dan Sei ikut. Kita berangkat besok pukul 9 pagi ya. Kumpul di taman samping sekolah saja. Kita akan berangkat dengan kereta antarkota.” Adre mengakhiri perbincangan.
***
    Angin menerpa ria rambutku. Pantai ini cukup sejuk. Tawa-tawa temanku membising di telinga kanan maupun kiriku membuatku susah berkonsentrasi dengan light-nove yang sedang terbuka di tangan kananku. Ku lihat kakiku bersentuhan dengan pasir putih yang lembut. Ku coba menggeseknya. Ombak pantai menyentuh kakiku sampai basah. Dan akhirnya aku sadari  bahwa ada seseorang yang sama-sama sedang berdiri di samping kananku.
“Kenapa tidak seceria mereka?” tanya Sei yang sedang di sampingku sambil menatap pantai dengan suara yang khas itu.
“Aku tidak seperti mereka. Seperti ini pun aku sudah senang.”
“Kau memang sama dengan orang itu, meskipun tidak persis.” Kata-katanya seperti saat di lab biologi waktu itu.
“Siapa?” kuberanikan untuk bertanya.
“Tidak, lupakan saja. Dan ini perintah.”
“Eh.”
Perintah macam apa itu. Dasar.
.
.
.
“Kau cantik.”
“Eh.”
.
.
Hening…
.
.
Blush…pipiku memerah…
.
.
.
Sei… apa yang kau pikirkan. Kau membuatku salah tingkah di depanmu.
“Bisa kau singkirkan poni yang menghalangiku untuk melihat wajahmu itu.”
Lagi-lagi dan pipiku semakin memerah.
“Sei, jangan seperti itu, kau membuatku…”
“Membuatmu apa?”
“Ah sudahlah.”
“Aku suka melihat wajah malumu seperti itu.”
Dari mana dia bisa tahu kalau aku sedang malu. Oh, tidak dia bisa melihat wajahku yang sudah semerah delima ini.
Aku pun hanya tersenyum dan mencoba membaca light-noveku kembali.
Srett__
Dia merampas light-noveku dan ­Wusss…byurr…
Dia melemparnya ke laut.
“Sei, apa yang kau lakukan. Itu serial terakhir yang aku baca setelah aku membaca 4 serial sebelumnya. Ambil kembali, cepat,” bentakku keras melihatnya telah membuang light-nove ku kelaut.
“Tidak.”
“Sei.”
“Kenapa? Kau marah.”
“Ya jelas aku marah. Dasar kau in…”
Dia menyetop bibirku dengan ujung telunjukknya.
.
.
.
“Bagaimana jika aku yang hilang meninggalkanmu, akankah kau semarah itu?”
.
.
.
“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Tapi pastikan kau menemukan jawabanmu besok di atas gedung yang sering kau pijak dan di waktu dimana hari mulai berganti. Dan jangan sampai kau melepaskan bagian yang penting dalam hidupmu.”
Aku masih terdiam di tempatku sedangkan dia sudah berlalu setelah mengucapkan itu.
***
“Sei. Kau membuatku berpikir keras seperti ini. Aku harus jawab apa? Tapi, apakah pertanyaan itu serius? Sei tidak pernah bercanda kan? Pasti itu seperti yang biasa dia lakukan. Itu perintah -_-. Bagaimana donk. Aku harus jawab apa?” gumamku sambil memandang langit-langit kamar.
Meow, meow…
“Noky, hari ini hari yang berat untukku. Apalagi besok. Hemmphh, aku ngantuk mau tidur, kau juga tidur ya. Daaa…”
Lalu kumatikan lampu kamarku.
***
“Nicha, Sei kemana? Kok tidak masuk hari ini?”
“Ya gak tau lah.Kenapa tanya aku sih Dre?”
“Ya kan kamu pacarnya.”
“Bukan, Woy. Enak aja lu ngomong.”
“Gomen-gomen, habisnya gak ada surat izin darinya.”
“Mungkin nanti siang.”
    Bel pulang berbunyi, Adre sampai sekarang belum menerima surat izin dari Sei. Dia kemana? Dan mengingat akan hari ini, aku harus menjawab pertanyaan kemarin kan. Seharusnya dia masuk sekarang jika ingin mendengar jawabanku. Atau mungkin dia tidak ingin mendengarnya.
“Eh tunggu dulu, jangan – jangan dia tidak masuk hari ini karena…”
Tiba-tiba pikiran itu lewat begitu saja. Mungkinkah dia meninggalkanku sekarang?
Hal itu sangat berkaitan dengan pertanyaannya kemarin.
Tetapi, aku harus kemana sekarang. Ke rumahnya?
“Dre, kamu tahu rumahnya Sei tidak?”
“Aku tidak yakin, tetapi mungkin di document wali kelas ada.”
“Temani aku meminta document itu.”
“Baiklah. Kau ini memang pacar yang perhatian ya. Sampai khawatir sebegitunya.”
“Diam kau.”
    Setelah diizinkan oleh wali kelas untuk mengambil document tersebut. Aku dan Adre segera membuka beberapa lembar kertas yang berisi biodata-biodata anggota kelas. Dan aku masih mencari milik Sei di sana.
“Cha, ini punya Sei kan? Ganteng ya fotonya.”
“Di mana alamatnya?” aku berusaha ikut melihat biodatanya.
“Perumahan Anggrek.”
“Apa? hanya segitu doang. Baiklah, Dre tolong bereskan semua ini, aku akan ke rumah Sei sekarang.”
“Loh, Cha tunggu. Masa aku yang harus beresin semuanya sih, blablabla…”
***
    Sesampainya di perumahan Aggrek…
“Mana ya rumahnya? Mungkin rumah yang paling besar, diakan anak orang kaya.”
Sampai akhirnya aku menyerah untuk menggoes sepedaku lagi. Aku putuskan bertanya kepada pak penjaga (satpam) yang tidak sengaja lewat di depanku.
“Pak, rumahnya Sei itu dimana ya?”
“Sei siapa ya?”
“Yang 1 minggu lalu pulang dari Amerika.”
“Oh yang itu. Baru saja mobil putih keluar dari rumah yang ada di depannya adik.”
“Rumah ini?” sambil menunjuk ke rumah di depanku.
“Kira-kira mau kemana?”
“Kabarnya sih ke bandara untuk kembali ke Amerika.”
“Ke Amerika? Oh ya sudah pak. Terima kasih.”
“Sama-sama, dik.”
    Sei kembali ke Amerika, tetapi kenapa tidak ada kabar. Tunggu! Memangnya aku ini siapa yang harus dapat kabar darinya. Berat untuk menerima kenyataan. Tanpa pikir, aku menggoes sepedaku untuk ke bandara. Bahkan, aku menerobos lampu merah.
“Sei, jangan pergi.”
Rasanya ingin menangis, tapi aku menahannya.
Aku memotong jalan dengan berbelok ke gang yang lebih sempit.
Gubraaakkk…
Aku terjatuh…
.
.
.
Serasa tidak ada harapan.
Aku sudah tidak bisa mengejarmu, Sei.
Sepedaku rusak menabrak beberapa benda di tikungan gang.
Meskipun terkesan menyerah aku tetap berpikir agar aku sampai ke bandara.
Sambil memandangi luka dilutut dan sikuku.
Deegg…
“Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Tapi pastikan kau menemukan jawabanmu besok di atas gedung yang sering kau pijak dan di waktu dimana hari mulai berganti. Dan jangan sampai kau melepaskan bagian yang penting dalam hidupmu.”
Aku teringat ucapannya.
“Di atas gedung yang sering aku pijak dan di waktu dimana hari mulai berganti. Di mana tempat itu? Dan kapan itu?”
Aku berpikir keras, memecahkan arti dari ucapan demi ucapan itu.
.
.
.
.
“Ya aku tau. Atap sekolah. Sekolah adalah gedung yang sering aku pijak, dan di atasnya berarti di atap. Pada pukul 5 sore. Jam segitu matahari mulai turun kan, dan siang akan berganti malam.”
Tanpa pikir panjang aku mencoba berdiri. Sambil menggigit bibir bawahku sendiri, aku menahan sakit dari luka-luka ini.
    Aku berlari sekuat tenagaku. Memotong arah sana dan sini, teriakan orang-orang yang aku tabrak di setiap sisi jalan. Dan aku hanya membalas dengan “Maaf” dan kembali melanjutkan lari ini. Badanku mulai lemas, nafasku terengah-engah. Jarak yang harus aku tempuh begitu jauh. Aku berhenti sebentar dan melihat jam di tanganku yang sudah menunjukkan 4 lebih 50. 10 menit lagi tepat pukul 5. Sedangkan perjalanan masih lumayan jauh untuk sampai ke gedung sekolah. Aku harap aku bisa mengejar waktu.
***
­Hosh__hosh__hosh…
Aku sampai di anak tangga untuk mencapai atap sekolah. Tenagaku terkuras di dua deret  anak tangga yang telah kulalui sebelumnya, apalagi waktu sudah lebih 5 menit dari pukul 5.
“SSebentar l-lagi aku sss—sampai,”ucapku gemetaran.
­Aku mulai melangkahkan kakiku yang sudah gemetaran ini ke anak tangga.
Dan tanpa pikir panjang aku berlari lagi,
Badan ini memanas karena lelah.
Braakkk…
Aku membuka pintu atap dengan paksa.
“S-Sei.” “Aku s-sudah sampai.Kau di m-mana?”
Tidak ada jawaban. Semua hening, hanya aku di sini.
Aku pun tersungkur dan jatuh. Aku menunduk dan tak pernah kuinginkan untuk menjatuhkan air mata. Aku menangis dengan sendirinya. Aku merasa berat untuk semua ini.
“Sei, aku sudah tahu jawabannya, kau tidak ingin mendengarnya? Aku, aku tidak ingin kehilanganmu, jangan meninggalkanku seperti ini. Aku sama sekali tidak ingin kau pergi. Sei, aku menyukaimu.”
.
.
.
Kuucapkan dengan tangisan yang terisak-isak.
.
.
.
Tidak ada suara yang aku dengar selain tangisanku.
.

.
.
“Jadi, itu jawabannya.” Suara khas itu terdengar lagi.
.
.
“Sei.” Aku pun segera melihat ke arah sumber suara.
Dia mengulurkan tangannya kepadaku dan membantuku bangun.
“Aku rasa ada jawaban yang lebih di sana. Selain kau tidak ingin kehilanganku, kau juga berkata di bagian terakhir bahwa kau…”
“Ya, aku menyukaimu,” sambil ku bungkam mulutnya dengan tanganku.
    Mendengar itu wajahnya berubah menjadi lesu, terlihat seperti acuhan yang lembut.
“Tapi, aku harus tetap pergi. Aku harus kembali ke Amerika dan menetap di sana. Lagipula kau tidak mengatakan bahwa aku penting.”
“Tapi…”
“Sudahlah, tidak perlu kau pikirkan. Kita dipertemukan untuk berpisah hari ini. Dan bisa saja kita bertemu lagi untuk bersama besok. Oh ya, kau sama dengan orang itu. Orang yang dulu pernah aku cintai. Tapi…itu sudah berlalu lama sekali, tidak seharusnya aku menyamakanmu dengan dia.”
“Sei. Kau tidak boleh seperti itu, aku sudah memberikan jawaban. Seharusnya…
“Kau memang sudah memberiku jawaban. Dan kau harus tahu bahwa terkadang seseorang harus rela melepaskan yang penting dalam hidupnya untuk hal penting yang lain.”
“Oh ya, 1 minggu cukup kan untuk kita yang seperti ini,” lanjut katanya sambil mengusap poniku dan pergi menuruni atap sekolah.
Ya, dia meninggalkanku di atap sekolah sendirian di hari yang mulai malam ini.
    Serasa ditekan batin ini. Dia hanya memberi harapan yang seakan benar-benar nyata. Dan kata-kata yang ia ucapkan kepadaku seolah memberiku pelajaran yang begitu menyakitkan jika dirasakan. Melepaskan hal penting untuk mendapatkan hal penting yang lain.
***
Aku rasa sudah tidak seharusnya aku menangisi ini semua. Aku lelah. Aku ingin segera beristirahat dan merenungi kejadian di sehari penuh ini. Pukul 07.00 malam aku baru sampai di rumah. Karena jatuh bangun tadi, seragam sekolahku terlihat sangat lusuh.
Air yang menyiramku di kamar mandi seakan menemaniku menangis malam ini.
***
“Nicha.” Seseorang yang suaranya sangat aku kenal mengelus rambutku di pagi hari yang sudah melelahkan ini.
“Emh…” aku membuka mataku dari tidurku,
“Mama?”
“Hai, mama pulang.”
“Ma, Nicha kangen banget sama mama. Seminggu ini Nicha sendirian. Hanya Noky yang nemenin Nicha,” ucapku sambil memeluk mamaku yang baru saja pulang dari luar kota.
“Maaf ya. Mama baru bisa pulang sekarang.”
“Papa mana?”
“Papa baru bisa pulang besok.”
“Baiklah, yang penting mama sudah sampai rumah sekarang.” Aku memeluk mamaku lagi.

    Hal itu mengingatkanku padamu, Sei. Kau itu juga penting bagiku. Meskipun pada akhirnya aku harus melepasmu.

SELESAI.



~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~Author's Time~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hai, ini cerita romance pertamaku yang selesai dengan tuntas. :v
Btw, nama-nama tokohnya, aneh :v
Alurnya juga GJ. Maafkan :'v
Ini cerita hanya aku buat untuk merealisasikan salah satu dari banyak bayangan2 cerita di pikiranku.  

Kritik dan saran, di kolom komentar yaaa.....

Thanks for read.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Tutur Kata yang Baik dan Buruk

No. Tutur Kata yang Baik Tutur Kata yang Buruk 1. “Permisi, saya mau tanya. Rumahnya bapak kepala desa ini di mana ya?” “Hai kamu, tau rumahnya kepala desa di sini tidak? Masa sih warga desa tidak tahu rumah kepala desanya.” 2. “Boleh pinjam penghapusmu tidak? Aku lupa membawa penghapus hari ini.” “Pinjam penghapus dong!! Peka dikit lah kalo temannya tidak membawa penghapus waktu sekolah.” 3. “Bu, permisi, sekarang ada jamnya Ibu di kelas 9A.” “Bu, ada jam tuh di kelas saya, jangan lupa dong.” 4. “Ma, boleh minta tolong ambilkan pel? Susuku tumpah di lantai tadi. “Maaa, ambilkan pel cepat, susuku tumpah di lantai. Pel in sekalian ya.” 5. “Kak, boleh minta bantuan tidak? Ajari aku soal yang ini, aku lupa caranya.” “Kak, kerjain soal ini dong, aku lupa caranya nih.” 6. “Maaf ya, aku t

Gagal Pasang Plugin di QGIS? Coba Cara Ini

  QGIS atau yang dulunya biasa disebut Quantum GIS merupakan software  olah data spasial yang bereferensi kebumian. QGIS dikembangkan oleh programmer Gerry Sherman pada tahun 2002 dan rilis sebagai perangkat lunak Open Source yang diminati banyak penggunanya.  Dalam pemakaiannya agar lebih multiguna, QGIS memberikan banyak sekali plugin yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Plugin-plugin tersebut tidak semuanya otomatis terpasang ketika instalasi pertama pada dekstop. Banyak plugin yang bisa kita pilih dan pasang secara manual sesuai dengan kebutuhan kita dalam mengolah data pada QGIS. Namun, beberapa kali ditemui masalah dalam pemasangan plugin pada QGIS. Mulai dari jenis plugin yang dimaksud tidak ditemukan, pemasangan plugin yang memerlukan waktu terlalu lama, tidak berhasil memuat list plugin pada QGIS, dan mungkin masih banyak lagi (yang disebutkan hanya yang pernah dialami penulis sih hehehe) Nah, untuk mengatasi kendala-kendala di atas, Ada sebuah tips yang sebenarnya QGI

Majas Bahasa Indonesia

  A.     Pengertian Majas Majas adalah bahasa kias atau pengungkapan gaya bahasa yang dalam pemakaiannya bertujuan untuk memperoleh efek-efek tertentu agar tercipta sebuah kesan imajinatif bagi penyimak atau pendengarnya. B.      Macam-macam Majas Ada 4 jenis Majas, antara lain : 1.       Majas Perbandingan. 2.       Majas Sindiran. 3.       Majas Pertentangan. 4.       Majas Penegasan. C.     Pembahasan 1.       Majas Perbandingan. Majas Perbandingan adalah kata-kata berkias yang menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan juga pengaruhnya terhadap pendengar dan pembaca. A)     Sarkasme Majas Sarkasme adalah yang paling kasar dan biasanya diucapkan oleh orang yang sedang marah. Bahkan terkadang majas ini dapat langsung menusuk perasaan. Ø   Contoh                         : 1)       Dasar kerbau dungu , kerja begini saja tidak becus! 2)       Otakmu memang otak udang . 3)       Mau muntah aku melihat wajahmu itu, pergi k